Headline

Serangan Israel ke Iran menghantam banyak sasaran, termasuk fasilitas nuklir dan militer.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Perusahaan Mengaku Rugi tapi Terus Ekspansi (1)

Tim Investigasi
25/4/2016 11:00
Perusahaan Mengaku Rugi tapi Terus Ekspansi (1)
(MI/Susanto)

Pengantar:

Perusahaan asing yang tidak membayar pajak terus bertambah dari tahun ke tahun. Selama 10 tahun terakhir pengemplangan pajak sudah mencapai Rp100 triliun. Wartawan Media Indonesia, Sry Utami, Ardhy Winata Sitepu, Jonggi Manihuruk, dan Mathias Brahmana menelusuri modus-modus perusahaan tersebut.


SUDAH sangat lama perusahaan multinasional maupun perusahaan penanaman modal asing (PMA) bersorak sorai menikmati sendiri kewajiban pajak mereka yang seharusnya disetorkan ke kas negara. Angkanya sangat mencengangkan.

"Dalam 10 tahun, kita kehilangan hampir Rp100 triliun, itupun hanya dari 2.000 PMA. Mereka mengaku rugi. Tapi 1.900 sekian PMA tidak komplain. Ini adalah bagian dari penggelapan pajak yang harus dibereskan," tandas Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, seusai rapat kabinet terbatas di Istana Merdeka pada 23 Maret lalu.

Pihak yang paling tertampar atas kejadian tersebut adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Kurang tegasnya lembaga tersebut menagih hak negara dari PPh badan perusahaan PMA akan menjadi preseden buruk ke depan.

Gejalanya sudah terlihat. Jumlah perusahaan asing yang tidak membayar pajak terus bertambah dari tahun ke tahun. Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Edi Slamet Irianto mengakui jumlah wajib pajak PMA yang tidak membayar pajak dalam kurun waktu 10 tahun terakhir terus meningkat.

Jika pada 2004, PMA pengemplang pajak hanya 1.452 perusahaan, pada 2013 melesat menjadi 2.794 PMA. Tahun berikutnya bisa jadi lebih meningkat lagi namun Edi Slamet keberatan mengungkap angkanya.

Dia juga menolak menyebutkan nama-nama perusahaan PMA yang mengemplang pajak itu dengan alasan amanat Undang-Undang (UU). Edi bersedia menyebutkan nama perusahaan bila kasusnya sudah masuk ke ranah tindak pidana.

“Rugi sehingga tidak bayar pajak belum masuk dalam ranah pidana, tetapi masih administrasi. Merugi itu dibenarkan UU, namun DJP harus menguji apakah memang merugi atau ada rekayasa kerugian, atau bahkan untung namun direkayasa sehingga merugi,” imbuhnya.

Edi selaku Direktur Pemeriksaan dan Penagihan menolak jika pihaknya ataupun pemerintah disebut kebobolan. Sepanjang 10 tahun terakhir, pihaknya terus melakukan pemantauan dan pencatatan.

Lantaran banyaknya PMA yang mangkir membayar pajak membuatnya pihaknya mengeluarkan penetapan Debt to Equity Ration (DER) sebesar 1:4.

Memang, penetapan DER di Indonesia baru dilakukan sejak 2015. Berbeda dengan negara lain yang sudah memberlakukan DER sejak beberapa tahun silam. DER untuk menghindari manipulasi antara besaran modal dan piutang perusahaan dengan tujuan menekan keuntungan (profit).

“Kami kan harus berprasangka baik kepada setiap wajib pajak dengan memberikan kelonggaran. Ternyata kelonggaran itu dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak membayar pajak. Awalnya kan untuk meningkatkan iklim investasi menjadi lebih baik. Jika kebaikan itu dimanfaatkan untuk keuntungan pribadi, kita harus melakukan tindakan lewat kebijakan-kebijakan,” tegasnya.

Perusahaan ternama
Penelusuran Media Indonesia, perusahaan-perusahaan yang melaporkan rugi namun tetap berproduksi itu terbesar berada di wilayah Ibu Kota yakni mencapai 936 PMA. Sebagian lainnya tersebar di berbagai kawasan industri seperti di Cikarang dan Karawang, Jawa Barat; serta Batam, Kepulauan Riau.

Basis produksi perusahaan tersebut meliputi berbagai bidang seperti industri pengolahan logam, elelektronik, kimia, tekstil, kosmetik, otomotif, perbankan, bahkan ada perusahaan sepatu ternama yang laku keras di pasaran.

Pengemplangan pajak badan bukan saja membuat gemas Kemenkeu namun juga membuat geregetan lembaga pemerintah lainnya. Badan Intelijen Negara (BIN), misalnya, telah menurunkan personil untuk menginvestigasi PMA yang tidak membayar pajak.

Saat dikonfirmasi adanya perhatian serius BIN terhadap pelaku pengemplang pajak, Ketua Dewan Informasi Strategis dan Kebijakan BIN Dradjad H Wibowo, menjawab diplomatis.

"Penggelapan pajak, terutama oleh perusahaan multinasional dan PMA, sudah menjadi musuh bersama negara-negara G20. Sudah ada konsep dan program BESP (base erosion and profit shifting) untuk mengantisipasi kejahatan pajak dan hingga sekarang G20 masih terus mengembangkan kerja sama di bidang itu," terang Dradjad.

Menurutnya, Indonesia bisa memulainya dengan mengejar pelaku penggelapan pajak. "Masak PMA membukukan kerugian tapi masih bisa terus ekspansi? Jelas ada profit shifting. Pemerintah sudah tahu modus-modusnya dan sudah memegang daftar perusahannya. Tinggal sekarang mengejar dokumen untuk pembuktian," tuturnya.

Pengamat Perpajakan Universitas Indonesia Darussalam tidak seutuhnya menyalahkan DJP atas hilangnya pemasukan negara sebesar Rp100 triliun. Menurutnya, peraturan perpajakan di Indonesia telah ketinggalan.

Saat ini, OECD (Organization For Economic Co-operation and Development) bersama G20 sedang menggalakkan peraturan antipenghindaran pajak (avoidance rule). Salah satunya dengan menerapkan MDR (mandatory disclosure rule).

MDR mewajibkan perusahaan multinasional yang melakukan skema agresif tax planning untuk menjelaskan tujuan bisnisnya. Lewat cara itu, pihak perpajakan dapat mengetahui secara detail transaksi internal perusahaan.

“Di Indonesia tidak ada begitu. Padahal di negara-negara maju merupakan barang lama. Itulah mengapa banyak perusahaan asing lari ke Indonesia. Teori pajak ibarat air yakni menempatkan penghasilan di tempat-tempat rendah. Tempat rendah itu ya tempat-tempat dimana pajak rendah,” tukasnya.

Untuk mencegah pengemplang pajak, Darussalam mendesak pemerintah memperjelas prosedur perencanaan pajak (tax planning). Selama ini, perencanaan pajak sulit dibedakan dengan penghindaran pajak (tax avoidance). Di negara-negara tujuan investasi, prosedur tersebut sudah diatur dalam ketentuan hukum.

Perusahaan multinasional biasa melakukan perencanaan pajak. Sedangkan di Indonesia, tax planning tidak didefinisikan. "Itulah yang terjadi. Di Indonesia belum jelas antara tax planning dan tax avoidance,” tutup Darussalam. (OL-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya